Tidak karena kamu memiliki semua pesona itu sekaligus, maka kamu bisa
mencintai dan mengawini semua perempuan. Begitu juga sebaliknya. Pesona
fisik, jiwa, akal, dan ruh, diperlukan untuk menciptakan daya tarik dan
daya rekat yang permanent bila kita ingin membangun sebuah hubungan
jangka panjang. Tapi seperti berlian, tidak semua orang mengenalnya
dengan baik, maka mereka tidak menghargainya. Atau mungkin mereka
mengenalnya, tapi terasa terlalu jauh untuk dijangkau, seperti mimpi
memetik bintang atau mimpi memeluk gunung. Atau mungkin ia mengenalnya,
tapi terasa terlalu mewah untuk sebuah kelas sosial, atau kurang serasi
untuk sebuah suasana.
Kira-kira itulah yang membuat Aisyah Radhiyallahu`anha sekali ini
benar-benar gundah. Orang terbaik dimuka bumi ketika itu, Amirul
Mu’minin, Khalifah kedua, Umar bin Khattab, hendak melamar adiknya, Ummu
Kaltsum. Tidak ada alasan untuk menolak lamaran beliau kecuali bahwa
Abu Bakar, sang Ayah, yang juga Khalifah Pertama, telah mendidik
puteri-puterinya dengan penuh kasih sayang dan kemanjaan. Aisyah karena
itu, percaya bahwa adiknya tidak akan kuat beradaptasi dengan pembawaan
Umar yang kuat dan kasar. Bahkan ketika Abu Bakar meminta pendapat
Abdurrahman bin Auf tentang kemungkinan penunjukkan Umar bin Khattab
sebagai khalifah, beliau menjawab : “Dia yang paling layak, kecuali
bahwa dia kasar.”
Dengan sedikit bersiasat, Aisyah meminta bantuan Amru bin `Ash untuk
“menggiring” Umar agar menikahi Ummu Kaltsum yang lain, yaitu Ummu
Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib yang ketika itu berumur 11 tahun.
Karena garis jiwa, akal dan ruh mereka lebih setara dan karena itu
mereka akan tampak lebih serasi karena bisa serasa. Berbekal pengalaman
sebagai diplomat ulung, pesan itu memang sampai kepada Umar. Akhirnya
Umar menikahi Ummu Kultsum bin Ali bin Abi Thalib.
Kesetaraan dan keserasian. Itu yang lebih menentukan daripada sekedar
pesona an sich. Ibnu Hazem menjelaskan, kalau ada lelaki tampan
menikahi perempuan jelek, atau sebaliknya, itu bukan sebuah keajaiban.
Yang ajaib adalah kalau seorang lelaki meninggalkan kekasih yang cantik
dan memilih kekasih baru yang jelek. “Saya tidak bisa memahaminya. Tapi
memang tidak harus dijelaskan.”
Ibnu Hazem, imam terbesar pada mazhab Zhahiryah, yang menulis puluhan
buku legendaries dalam fiqh, hadist, sejarah, sastra, puisi dan
lainnya, lelaki tampan yang lembut dan seorang pecinta sejati, putera
seorang menteri di Cordova, suatu ketika harus menelan luka: cintanya
ditolak oleh seorang perempuan yang justru bekerja dirumahnya. Ibnu
Hazem bahkan mengejar-ngejarnya dan melakukan semua yang bisa ia lakukan
untuk mendapatkan cintanya. Tapi tetap saja ditolak.
“Saya teringat, kadang-kadang saya masuk melalui pintu rumahku dimana
gadis itu ada disana, untuk berdekat-dekat dengannya. Tapi begitu ia
tahu aku mendekat ia segera menjauh dengan sopan dan tenang. Jika ia
memilih pintu lain, maka aku akan kesana juga tapi dia akan pindah lagi
ketempat lain. Dia tahu aku sangat mencintainya walaupun
perempuan-perempuan tidak tahu hal itu karena jumlah mereka sangat
banyak di istanaku.”
Begitulah lelaki yang memiliki semua pesona itu ditolak. Bahkan
ketika suatu saat Ibnu Hazem menyaksikan gadis itu menyanyi di
istananya, Ibnu Hazem benar-benar terpesona dan makin mencintainya. Tapi
ia hanya berkata dengan lirih: “Oh, nanyian itu seakan turun kehatiku,
dan hari itu tidak akan pernah kulupakan sampai hari ketika berpisah
dengan dunia.”
Oh, lelaki baik yang terluka oleh hukuman keserasaan dan keserasian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar