Oleh: Fatimah Usman
”ALLAH tidak menganugerahkan kepadaku seorang istri sebagai pengganti
yang lebih baik daripada Khadijah ra. Dia beriman kepadaku ketika
orang-orang mengingkari kenabianku; dia membenarkanku ketika orang-orang
mendustakan diriku; dia membantuku dengan harta kekayaannya ketika
orang lain tidak mau memberiku, dan dari rahimnya Allah menganugerahkan
anak-anak bagiku, bukan dari perempuan lain.”
Demikian terjemahan dari Sabda Rasulullah Muhammad SAW yang
seringkali didengar oleh para sahabat beliau, termasuk oleh istri beliau
sesudahnya, Aisyah, sehingga dia sangat cemburu kepada Khadijah
sekalipun sudah almarhum.
Khadijah adalah seorang istri yang penuh dengan sifat keibuan, mampu
menjadi pelipur lara di saat sang suami (waktu itu belum menjadi nabi)
mengalami kehausan kasih sayang karena sejak kecil sudah yatim-piatu.
Beliau istri yang penyabar dan penuh perhatian, sekalipun suami
(Muhammad) suka pergi untuk ber-tahannuts (menyendiri dan merenung) di
gua-gua di luar Kota Makkah. Beliau sebagai penyejuk dan penenang jiwa,
termasuk saat suaminya pulang ke rumah di pagi buta dalam keadaan
ketakutan. Tubuhnya gemetar, dengan wajah yang pucat pasi dan
terbata-bata menceriterakan kejadian dahsyat yang baru saja dialami.
Di Gua Hira malam itu, Muhammad didatangi seseorang yang belum pernah
dikenalnya, yang ternyata malaikat Jibril. Melalui Jibril, beliau
menerima lima ayat dari surat Al-’Alaq, yang terjemahnya: ”Bacalah (hai
Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari sesuatu yang menggantung. Bacalah, dan Tuhanmu
yang Paling Mulia yang telah mengajari dengan pena. Mengajari manusia,
apa saja yang tidak diketahuinya.”
Ketakutan dan kegelisahan suami seketika lenyap di saat Khadijah
merangkul dan mendekap ke dada beliau dengan sikap lembut dan dengan
kata-kata yang menghibur, sehingga tenanglah hati Muhammad sampai
tertidur di sampingnya.
Di saat itulah, Khadijah diam-diam mengunjungi saudaranya yang
bernama Waraqah bin Naufal, dan menceriterakan kejadian yang telah
dialami suami, dan beliau memperoleh kepastian bahwa Muhammad telah
dipilih oleh Allah menjadi Nabi!
Rasa syukur bercampur kagum dan cinta, ingin sekali beliau
menyampaikan perasaan itu secepatnya kepada suami. Maka di saat sang
suami menyatakan bahwa dirinya diperintahkan untuk mengajak manusia
menyembah hanya kepada Allah, dan ”siapakah kiranya orang yang mau
kuajak?”, Khadijah segera menjawab dengan mantap penuh keyakinan: ”Aku
yang menyambut ajakanmu wahai Muhammad! Ajaklah aku sebelum mengajak
orang lain, aku mengaku Islam, membenarkan kerasulanmu dan mengimani
Tuhanmu.”
Tidak hanya sebagai mukmin-mukminah pertama, Khadijah juga merelakan
seberapa pun harta bendanya dipergunakan untuk membiayai dakwah yang
penuh hambatan. Beliau yang terkenal sebagai pengusaha ekspor-impor yang
disegani kala itu, kaya raya, dan bangsawan, sama sekali tak keberatan
ketika harus meninggalkan kemegahannya untuk hidup mengungsi ke Syi’ib
Abu Thalib yang sangat sederhana, demi menyelamatkan agama barunya dari
amukan kaum Quraisy.
Siksaan dan penindasan dari kafir (Quraisy) yang menabuh genderang
perang, bertahun-tahun beliau alami bersama keluarga, namun ketabahan
dan kesetiaan beliau kepada suami dan perjuangannya tetap mengagumkan
setiap orang. Belum lagi lelabuh beliau dalam melahirkan dan mendidik
enam putra-putri Rasulullah Muhammad SAW yang sangat dicintai, yakni:
Qasim, Abdullah (keduanya meninggal di saat kecil), Zaynab, Ruqayyah,
Ummu Kaltsum, dan Fathimah.
Seperempat abad Khadijah membuktikan dirinya sebagai istri shalihah.
Oleh karenanya secara jujur Rasulullah mengakui, keberadaannya tak
pernah tergantikan! Jiwanya tetap hidup meski jasadnya telah wafat,
bayangannya tetap menyertai sepanjang kehidupan Rasulullah. Hal itu
terlihat, setiap beliau bercerita atau mendengar nama Khadijah disebut,
wajah beliau langsung berbinar-binar bahagia. Cinta kasih beliau kepada
Khadijah menjadikan beliau tak pernah menduakannya.
Keteladanan seorang ummul mukminin yang akan tetap abadi sepanjang
sejarah hidup umat Islam di dunia. Seorang istri yang siap hidup bersama
suami dalam suka dan dukanya, dalam sehat dan sakitnya, dalam
penindasan dan pengagungannya. Istri yang siap menjadi bemper bagi
perjuangan suci sang suami, tanpa rasa takut akan risiko besar yang
harus dihadapinya. Istri yang senantiasa memiliki semangat untuk
menyinkronkan setiap langkah positif suaminya (bukan hanya sebatas
mendukung), sehingga upaya seiring-sejalan dalam mengarungi hidup lebih
mudah dilakukan, sekalipun pada dasarnya memiliki perbedaan-perbedaan
yang sangat jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar