twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Selasa, 22 November 2011

Tak Seperti Sore Biasanya

Sore itu seperti sore biasa, Mia pulang terlambat dari sekolahnya. Kegiatan ekstra kulikuler SMA banyak menyita waktunya akhir-akhir ini. Dia membuka pintu dengan lemas dan segera menuju dapur. Berharap segelas air putih, bisa meyejukkan tenggorokannya yang kering. Belum dia menyentuh ketel air yang berwarna biru itu, langkahnya terhenti. Dia melihat ibunya tertidur diatas sofa, di pojok ruang makan itu.tangan ibunya masih memegang celemek yang dia pakai jika memasak.

Wajah ibunya yang dimakan usia tersirat hidupnya yang getir. Setiap hari tanpa henti mengupas bumbu dapur lalu menjualnya kerumah makan. Harga yang didapat tidak pernah sebanding dengan keringat dan luka yang membekas dijarinya. Mata mia berkaca-kaca, dia mendekati ibunya lalu mencium keningnya.

"ibu, aku pulang." sapa mia dengan lembut, lalu dia bermanja, memijat kaki ibunya perlahan.

"ibu ketiduran ya?" beliau tersipu, lalu mengelus rambut anak perempuannya itu.

"pindah kekamar bu, biar aku yang melanjutkan pekerjaan ibu" kata mia.

"jangan, kau buat saja PR-mu. ibu sudah tidak lelah lagi." ibunya lalu berdiri.

"ibu, aku saja." mia merengek.

Ibunya menggelengkan kepala. Jika dia diam artinya dia serius. Mia yang sedikit kecewa. Duduk di meja makan dan mengeluarkan bukunya. Ibunya tersenyum melihat anak perempuannya mulai belajar. Karena bagi dirinya ilmu adalah misteri. Dia tidak bisa membaca dan menulis. Karena itu dia mempunyai hasrat yang kuat, agar anaknya tidak bernasib seperti dirinya. Mia terkejut, teh hangat dan manis kini ada didepannya. Ibunya yang diam-diam membelakanginya ternyata membuatnya teh kesukaannya.

Sore itu masih seperti biasa samapai seorang lelaki mabuk datang dan berteriak-teriak.
"istriku, mana istriku yang ke tiga ini bersembunyi" lelaki itu berjalan oleng dan menjatuhkan beberapa keramik.

"itu ayahmu, mia, kau masuklah kekamarmu. sembunyi" ibunya panik. Mia pun bereaksi refleks. Karena hal ini sudah dilakukannya sejak masih kecil. Mia duduk dipojok kamarnya, memeluk bantal, memejamkan mata tapi telinganya mencuri dengar.

"mana uang itu?, ke***at" ayah mia memaki ibunya.

"ampun pak, uang itu untuk mia sekolah. jangan pak" ibu mia memelas.

"ja****m, anak itu tidak perlu sekolah. kau kawin kan saja dia." lalu terdengar suara tamparan yang keras.

"jangan pak. pukul saja aku sepuasmu, tapi jangan renggut masa depan mia." ibunya memelas lagi.

PRAAKKKKKK, suara pecahan kaca terhempas. Mia semakn mengerut. Lalu terdengar suara orang yang berlari. Tapi suara ibunya tak terdengar sama sekali.

Mia keluar kamar dengan tubuh gemetar, dia perlahan mendekati kamar ibunya. Gemetar tubuh mia terhenti. Dia terhempas kelantai melihat tubuh ibunya. Darah mengalir dikepala ibunya.  Tubuhnya mulai basah karena darah. Tangan ibunya masih menggenggam beberapa helai uang ribuan. Uang yang akan menjanjikan masa depan Mia. Dia tertegun, orang yang paling dicintai dan disayangnya kini terbaring tak bernyawa.

Seperti orang kehilangan jiwa mia berjalan pelan menuju dapur. Diambilnya pisau yang masih tergeletak dilantai. Lalu dia berjalan pelan keluar rumahnya seperti tidak ada apa-apa. Didalam kepalanya saat ini. Hanya ada satu hal.

Mengeluarkan hati ayahnya yang menurutnya tak pernah dipakai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar