twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Selasa, 22 November 2011

Mengingat Allah Dengan Membaca Alam


Cetak
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." -QS Ali Imran: 190-
Tsabit Bannani berkata,"Suatu ketika Nabi Daud a.s melewati sebuah lampu penerang yang sedang menyala. Kemudian, dia teringat akan api neraka yang dahsyat. Maka, seketika itu juga dia bergetar dan menjerit dengan keras sehingga tampak anggota badan dan sendi-sendinya akan terputus." Demikianlah di antara akhlak sufi yang mulia. Seorang sufi sejati selalu memandang dunia dengan pandangan iktibar (pelajaran) bukan pandangan syahwat dan rasa senang.
Hatim AlAshamm pernah di tanya,"Kapan salah seorang di antara kita dapat menjadi orang yang selalu mengambil pelajaran?"
Hatim Menjawab,"Apabila orang itu dapat melihat bahwa apapun di dunia akan sirna dan bahwa orang yang memiliki kekayaan dunia juga akan sirna."
Yahya bin Muadz berkata,"Hendaklah pandanganmu terhadap dunia adalah pandangan iktibar, pemanfaatanmu pada dunia adalah keterpaksaan, dan penolakanmu pada dunia adalah pilihan."
Selanjutnya para sufi senantiasa melihat proses penciptaan alam sebagai sarana menuju (Keridhaan) Allah. Mereka selalu membaca berbagai hikmah yang ada di balik alam. Mereka menafakuri semuanya hingga menghasilkan rumusan pengetahuan purna yang berguna bagi kehidupan manusia setelah mereka. Matahari, bumi dan langit di pandang oleh mereka bukan sekadar untuk dinikmati keindahannya, tetapi untuk direnungkan hikmah dibaliknya.
Jika kita menafakuri alam ini dengan pikiran jernih, kita akan menemukan bahwa alam semesta bagaikan bangunan rumah yang menyediakan berbagai perlengkapan yang sempurna. Langit ditinggikan seperti atap, bumi dihamparkan seperti lantai, bintang-bintang ditaburkan seperti lampu, dan barang-barang tambang di perut bumi ibarat kekayaan yang terpendam. Semua itu disiapkan dan disediakan untuk kepentingan alam itu. Sementara itu, manusia ibarat pemilik rumah yang dianugerahi segala isinya. Berbagai jenis tumbuhan disediakan untuk memenuhi kebutuhannya dan bermacam-macam hewan diberikan untuk menopang kehidupannya.
Allah SWT telah menciptakan langit ini dengan warna yang dapat di pandang mata. Seandainya langit diciptakan dalam bentuk sinar atau cahaya, pasti akan menyakitkan mata orang yang memandangnya. Warna kebiru-biruan membuat mata manusia bisa menikmati pemandangan langit.. Apalagi ketika malam mengganti siang, dan bintang-bintang serta bulan bercahaya terang, manusia dapat memandang ciptaan Allah. Dan, dalam keindahan langit, manusia dapat menemukan Tuhan, Pencipta jagat raya.
Selanjutnya ketika menyadari keindahan langit, manusia akan merenungkan keindahan tata surya. Perputaran bintang-bintang memberikan petunjuk arah dan waktu kepada manusia. Ada lintasan-lintasan yang bekas-bekasnya dapat terlihat di barat dan di timur. Ada juga kumpulan bintang yang membentuk rasi tertentu sehingga menjadi petunjuk arah bagi orang yang tersesat. Dengan petunjuk rasi bintang, manusia dapat menemukan arah yang ditujunya.
Keberadaan tata surya langit menjadi dalil yang jelas tentang keberadaan Tuhan yang menciptakannya. Rancangan langit yang sangat kukuh menunjukkan keluasan ilmu penciptanya. Keteraturannya menunjukkan kehendak penciptanya. Karena itu, Maha suci Allah yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Berkehendak.
Sebagian ulama menuturkan sepuluh keuntungan dalam memandang langit, Yaitu:
1. Mengingatkan kepada Allah SWT,
2. Memancarkan pengagungan kepada Allah dalam hati,
3. Menghilangkan pikiran buruk,
4. Mengurangi rasa suntuk,
5. Mengendorkan perasaan was-was,
6. Menghilangkan perasaan takut,
7. Memberikan semangat bagi orang yang patah hati,
8. Menghibur orang yang sedang di landa rindu,
9. Memberikan rasa tenteram bagi orang yang sedang jatuh cinta,
10. Kiblat bagi orang-orang yang sedang berdoa. 

Niat Berbuat Kebaikan Cetak

"Sesungguhnya, semua amal bergantung pada niatnya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasu-lNya, dia telah berhijrah kepada Allah dan Rasu-lNya..."

Niat yang benar adalah anugrah Allah kepada seseorang. Bernilai atau tidaknya suatu perbuatan tergantung sepenuhnya pada niat. Sebuah amal bisa memperoleh pahala yang berlipat karena kecermatan menata niat. Apabila seseorang berangkat ke masjid dan ia berniat untuk melaksanakan shalat berjamaah, lalu ia pun berniat untuk silaturahmi kepada sesama muslim, maka pahala yang di dapat adalah pahala shalat berjamaah dan silaturahmi.

Selain meraih pahala yang berlipat, niat yang benar akan melahirkan tekad yang kuat untuk melakukan ketaatan secara maksimal. Begitu juga niat yang tulus dapat mencegah seseorang malu untuk beramal karena ejekan atau cemoohan orang. Amal yang bentuk lahirnya keduniaan akan berubah menjadi amal keakhiratan karena niat yang benar. Sebaliknya, Amal yang tampilan luarnya keakhiratan bisa menjadi sekedar amal keduniaan apabila dilakukan tanpa niat yang benar.

Dawud At-Tha'i pernah ditanya oleh seseorang,"Bagaimana caranya agar suatu amal terbebas dari riya?"

At-Tha'i menjawab,"Perbanyaklah niat melakukan kebaikan. Sebab, niat melakukan kebaikan termasuk amalan yang baik bagi orang mukmin. Berniat melakukan kebaikan adalah perbuatan hati yang tak tampak sehingga selamat dari riya. Namun ingatlah meskipun niat melakukan kebaikan tidak terlihat mata, ia dapat terserang penyakit ujub. Hati-hatilah dengan setan! Setan selalu mengincarmu setiap saat.

Muhammad bin Wasi' berkata,"perbanyaklah kalian berniat melakukan kebaikan. Sebab diantara sederetan amal, hanya niat yang dapat diharapkan tidak terjangkit riya. Amal-amal yang lain tidak dijamin selamat dari riya. Insya Allah berniat melakukan kebaikan adalah amal yang akan terselamatkan darinya. Niat orang mukmin lebih baik daripada amalnya.

Tsabit Al Banani menjelaskan,"Engkau mesti berhati-hati dengan jebakan setan. Setan suka mendorong dirimu untuk berniat melakukan amal saleh. Namun, dia berusaha menghalangimu melaksanakannya secara nyata. Setan mengetahui bahwa jika orang mukmin melakukan amal saleh, dia mendapat pahala berlipat. Sebab niat melakukan amal salehnya di hitung sebagai kebaikan. Karena itu setan tidak rela melihat orang mukmin mendapat dua pahala sekaligus. Engkau jangan terjebak dalam pelamunan. Pelamunan hanyalah angan-angan melakukan kebikan tanpa dibarengi dengan tekad untuk melaksanakannya. Camkanlah olehmu, niat yang di hitung sebagai kebaikan adalah niat yang dilaksanakannya secara nyata dan niat yang terhalang suatu uzur ketika engkau hendak melakukannya."

"Jika niatmu baik," Kata Ali Al Khawwash. "Seluruh orang akan merasa senang kepadamu. Sebaliknya jika niatmu jelek, seluruh orang akan membencimu. Allah SWT sangat senang kepada hamba yang mempunyai tekad untuk melakukan amal baik sementara ia terhalang oleh suatu uzur. Allah SWT sangat benci kepada hamba yang berniat melakukan maksiat sementara ia terhadang oleh uzur bukan karena tekad baik dalam dirinya. Perbanyaklah merasa sedih jika dalam hatimu terdapat keinginan melakukan kebaikan sementara ada uzur yang menghalangi. Sebab, tangisanmu akan menambah catatan kebaikanmu. Dan, janganlah merasa bersedih jika engkau tidak jadi melakukan maksiat yang telah engkau rencanakan karena terhalang oleh suatu uzur. Sungguh beruntung orang yang diberi karunia niat yang baik dan dapat melaksanakannya."

Demikianlah dari niat yang baik, lahirlah ketulusan beribadah. Dan ketulusan beribadah menghasilkan pahala yang berlipat dan tekad yang kuat untuk melaksanakan ketaatan. Semoga Allah SWT senantiasa meluruskan niat kita pada jalan ketaatan. Amiin.

Menjalin Persahabatan


Cetak

"Jika bersahabat dengan seseorang, janganlah engkau melihat kadar kecintaannya kepadamu. Tetapi, lihatlah kadar kecintaanmu kepadanya." -Ibn Mas'ud-
Bagi para sufi, mencintai atau membenci seseorang selalu didasarkan pada kepentingan Allah. Jika kecintaan pada seseorang dapat menjaga hak-hak Allah, mereka akan melestarikannya. Namun, jika kecintaan atau kebencian tersebut dapat merusak hak-hak Allah, mereka segera melenyapkannya.
Para sufi enggan bersahabat dengan seseorang, kecuali setelah mereka tahu, jika bersahabat dengannya, kehormatan agama Allah akan terjaga. Mereka pun tidak mau mencintai atau membenci seseorang atas dasar keuntungan dunia. Ali bin Husain berkata,"Dua orang yang bersahabat bukan karena Allah akan berpisah bukan karena Allah pula."
Allah SWT menyampaikan wahyu kepada Nabi Musa AS,"Wahai Musa, apakah engkau telah melakukan suatu kebaikan untuk-KU?
Nabi Musa menjawab,"Sudah, wahai Tuhanku. Aku telah Sholat, puasa, sedekah, dan beramal saleh."
Allah berfirman,"Semua itu milikmu. Yang aku maksud bukanlah demikian, melainkan engkau mencintai atau memusuhi seseorang karena Aku."
Sufyan Ats Tsauri mengatakan,"Jika Seseorang melihat orang lain melakukan suatu dosa, tetapi ia tidak membencinya karena orang tersebut adalah sahabatnya yang ia cintai, kecintaannya adalah bukan karena Allah. Jika kecintaannya karena Allah, ia akan mencegahnya atau menasihatinya dari perbuatan dosa."
Muhammad bin Hanafiyyah berkata,"Barang siapa yang mencintai seseorang karena akhlaknya yang baik (meskipun ia pendosa), Allah SWT akan memberinya pahala. Barang siapa yang membenci seseorang karena akhlaknya yang buruk (meskipun ia ahli ibadah), Allah SWT akan memberinya pahala."
Imam Al Ghazali berkata,"Jika engkau hendak mencari teman dalam menuntut ilmu, baik ilmu akhirat maupun ilmu dunia, pertimbangkanlah lima hal. Pertama, Kepandaiannya. Tidak beruntung pencari ilmu yang berteman dengan orang bodoh. Sebab orang bodoh hanya akan menyusahkannya dan membuat dirinya terbelakang.
Kedua, Akhlaknya. Bersahabat dengan orang yang berakhlak tercela penuh resiko. Orang yang buruk akhlaknya tidak bisa mengendalikan diri ketika tersinggung atau merasa senang sehingga akan mencelakai temannya. Selain itu orang yang tercela dapat menulari perbuatan tercelanya itu kepada temannya.
Ketiga, Ketakwaannya. Tidak beruntung bersahabat dengan orang fasik yang suka berbuat maksiat dan dosa. Sebab, perbuatan fasik dapat menjerumuskan seseorang ke jurang kehinaan dan lembah kemaksiatan. Akibat berteman dengan orang fasik adalah durhaka kepada Allah.
Keempat, Kezuhudannya. Tidak baik bersahabat dengan orang yang rakus kepada harta. Bersahabat dengan orang yang rakus membahayakan keselamatan jiwa. Dan kecenderungan manusia adalah meniru apa yang dilakukan oleh teman dekatnya.
Kelima, Kejujurannya. Orang yang tidak jujur suka berbohong kepada orang lain dan menipu dirinya sendiri. Jika engkau berteman dengan pembohong, orang lain akan menganggapmu sebagai pembohong atau penipu sehingga orang lain menjauhimu. Berteman dengan pembohong membuat dirimu terjerat dalam pembenaran sikap bohong. Padahal, bohong adalah dosa besar."

Adab Berpuasa


Cetak


Orang yang puasa mempunyai adab-adab yang puasanya tidak menjadi Sempurna, kecuali dengan adanya adab-adab itu. Yang terpenting darinya ialah menjaga lidahnya dari dusta dan ghibah serta membicarakan sesuatu yang tidak perlu baginya. Ia Jaga kedua mata dan telinganya dari mendengarkan dan memandang sesuatu yang tidak halal baginya serta sesuatu yang dianggap berlebihan.
Begitu pula ia jaga dirinya dari memakan makanan haram dan syubhat, khususnya ketika berbuka puasa. Ia berusaha dengan sangat hati-hati untuk tidak berbuka puasa, kecuali dengan memakan makanan halal.
Seorang ulama Salaf berkata, Apabila engkau puasa, lihatlah makanan apa yang engkau makan ketika berbuka dan di tempat siapa engkau berbuka. Hal itu merupakan dorongan agar berhati-hati mengenai makanan untuk berbuka puasa.
Begitu pula orang yang puasa harus menjaga semua anggota tubuhnya dari perbuatan yang tidak perlu. Dengan itu puasanya menjadi Sempurna dan Bersih. Banyak orang yang puasa memayahkan dirinya dengan lapar dan haus, namun ia biarkan anggota tubuhnya berbuat maksiat sehingga merusakkan puasanya dan menyia-nyiakan kepayahannya. Nabi Saw bersabda, “Banyak orang yang puasa tetapi puasanya hanya menghasilkan lapar dan haus.”
Meninggalkan maksiat adalah wajib untuk selamanya atas orang yang puasa maupun yang tidak puasa. Akan tetapi orang yang puasa lebih utama untuk berhati-hati dan lebih wajib.
Nabi Saw bersabda, “Puasa itu perisai. Maka pada hari kamu berpuasa, janganlah ia berkata keji dan jangan berbuat kefasikan serta jangan mengganggu orang lain. Jika ada orang memakinya atau memusuhinya, maka katakanlah, sesungguhnya aku puasa.
  Termasuk adab orang yang puasa ialah tidak banyak tidur di siang hari dan tidak banyak makan di waktu malam. Hendaklah ia makan sekadarnya sehingga ia rasakan sentuhan lapar dan haus supaya jiwanya menjadi baik dan syahwatnya menjadi lemah serta hatinya menjadi terang. Itu rahasia puasa dan tujuannya.
Hendaklah orang yang puasa menjauhi kesejahteraan dan kesenangan syahwat serta kenikmatan yang banyak. Sedikit-dikitnya adalah kebiasaan bersenang-senang itu hanya sekali di bulan Ramadhan dan lainnya. Ini adalah sedikit-dikitnya yang patut. Akan tetapi latihan dan menjauhi keinginan nafsu menimbulkan pengaruh besar dalam menerangi hati dan secara khusus dituntut di bulan Ramadhan. Adapun orang -orang yang menjadikan bersenang-senang dan hidup mewah di bulan Ramadhan yang tidak biasa mereka lakukan diluar Ramadhan, maka hal itu merupakan tipu daya setan yang menipu mereka supaya mereka tidak merasakan keberkahan puasa mereka. Dan supaya tidak nampak pada mereka pengaruhnya berupa cahaya, mukaasyafat, sikap khusyu’ kepada Allah dan tunduk dihadapan-Nya, menikmati munajat (permohonan) dengan-Nya, dan pembacaan Kitab-Nya, serta dzikir kepada-Nya.
Kebiasaan salaf -Rahimahumullah- adalah mengurangi kebiasaan dan kesenangan nafsu serta memperbanyak amal baik di bulan Ramadhan secara khusus, meskipun hal itu sudah dikenal dari perilaku mereka dalam seluruh waktu.
Termasuk adabnya pula, ialah tidak terlalu banyak mengurusi dunia di Bulan Ramadhan, tetapi mengkhususkan diri untuk beribadah kepada Allah dan menyebut Nama-Nya sedapat mungkin. Janganlah ia mengurusi dunia kecuali bila sangat mendesak bagi kebutuhannya atau anak-anak yang wajib diurusinya. Hal itu disebabkan bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lain seperti kedudukan Jumat diantara hari-hari. Oleh karena itu orang mukmin harus menjadikan hari Jumat dan bulan Ramadhan ini untuk akhiratnya.

Makanan Impor dari Negara Kafir, Halalkah?

Sebenarnya uraian tentang hukum makanan impor sangat panjang, tetapi akan kami coba jelaskan secara ringkas sebagai berikut;
Makanan impor dari negeri kafir terbagi dua macam:
Pertama: Makanan tersebut tidak butuh disembelih, seperti buah-buahan, permen dan sebagainya, maka hukumnya adalah halal dengan kesepakatan para ulama. (Tafsir al-Qurthubi 6/77)
Atau juga hewan laut, seperti ikan, udang, kerang dan sebagainya, maka hukumnya halal secara mutlak karena hewan laut atau air tidak butuh disembelih.
Kedua: Makanan tersebut adalah daging binatang sembelihan, maka hal ini diperinci sebagai berikut;
A.Apabila dari negeri kafir bukan Ahli kitab (bukan Yahudi atau Nashrani), seperti Cina, Rusia dan sebagainya, atau penyembelihnya adalah kafir bukan Ahli kitab di negeri manapun, maka asal hukumnya adalah haram, karena sembelihan orang kafir bukan Ahli kitab adalah haram dengan kesepakatan para ulama. Kecuali kita yakin sembelihan tersebut memenuhi kriteria Islam, maka hukumnya boleh. Seperti apabila sembelihan tersebut dari seorang kawan muslim yang tinggal di sana.
B.Apabila dari negeri kafir Ahli kitab seperti Australia, Vatikan dan semisalnya, atau disembelih oleh Ahli kitab di negeri manapun, maka hal ini ada tiga keadaan;
Pertama: Bila diketahui cara penyembelihannya sesuai dengan aturan syariat Islam, maka hukumnya adalah halal, karena sembelihan Ahli kitab adalah halal dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Bila diketahui bahwa cara penyembelihannya tidak sesuai dengan cara Islam, maka hukumnya adalah haram.
Ketiga: Bila tidak diketahui apakah penyembelihannya dengan cara islami atau tidak, hal ini diperselisihkan oleh ulama masa kini menjadi dua pendapat. Ada yang membolehkannya, karena hukum asal sembelihan ahli kitab adalah sah, dan ada yang mengharamkannya, karena asal daging binatang adalah haram hingga kita ketahui bahwa hewan tersebut disembelih dengan cara islami. Terlebih lagi dikuatkan data-data yang jelas dari Belanda dan Denmark bahwa penyembelihan mereka bukan dengan cara yang Islami, seperti dengan listrik, pukulan keras dan sebagainya. (Al-Ath’imah hal.150-166, DR.Shalih al-Fauzan).
Oleh karena itu, untuk lebih berhati-hati adalah tidak memakannya. Allohu A’lam.

Hakikat Silaturrahim

Ganjaran menarik yang dijanjikan untuk orang-orang yang bersilaturrahim tersebut di atas tentu amat menggiurkan, sebaliknya ancaman bagi mereka yang enggan bersilaturrahim juga mengerikan, sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan banyak kaum muslimin yang gemar bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang adat ketimurannya masih cukup kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa ia telah mempraktekkan silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber dari kekurangpahaman mereka akan hakikat silaturrahmi. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”.
“Penyambung silaturrahmi (yang hakiki) bukanlah orang yang menyambung hubungan dengan kerabat manakala mereka menyambungnya. Namun penyambung hakiki adalah orang yang jika hubungan kerabatnya diputus maka ia akan menyambungnya”. HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr.
Sebab kata menyambung mengandung makna menyambungkan sesuatu yang telah putus. Adapun orang yang menjaga hubungan kaum kerabat manakala mereka menjaganya, pada hakikatnya dia bukanlah sedang menyambung hubungan, namun ia hanya mengimbangi atau membalas kebaikan kerabat dengan kebaikan serupa.
Membumikan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam tersebut di atas dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya bukan suatu hal yang ringan; sebab kita harus mengorbankan perasaan. Bagaimana tidak, sedangkan kita tertuntut untuk berbuat baik terhadap orang yang menyakiti kita, tersenyum pada orang yang cemberut pada kita, memuji orang yang mencela kita, memberi orang yang enggan memberi kita, dan sifat-sifat mulia berat lainnya. Karena itulah ganjaran yang dijanjikan Allah pun besar. Abu Hurairah bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ!”. فَقَالَ: “لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ”
Pernah ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasul, saya memiliki kerabat yang berusaha untuk kusambung namun mereka memutus (hubungan dengan)ku, aku berusaha berbuat baik padanya namun mereka menyakitiku, aku mengasihi mereka namun mereka berbuat jahat padaku!”.
“Andaikan kenyataannya sebagaimana yang kau katakan, maka sejatinya engkau bagaikan sedang memberinya makan abu panas . Dan selama sikapmu seperti itu; niscaya engkau akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menghadapi mereka”. HR. Muslim.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, dalam menyikapi silaturrahim, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan:
  • Penyambung hakiki silaturrahim. Yakni mereka yang tetap menyambung silaturrahim manakala diputus.
  • Pembalas ‘jasa’. Yakni mereka yang bersilaturrahmi dengan kerabat yang mau bersilaturrahim padanya dan berbuat baik manakala ia dibaiki.
  • Pemutus silaturrahim.

Hakikat silaturrahim

Ganjaran menarik yang dijanjikan untuk orang-orang yang bersilaturrahim tersebut di atas tentu amat menggiurkan, sebaliknya ancaman bagi mereka yang enggan bersilaturrahim juga mengerikan, sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan banyak kaum muslimin yang gemar bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang adat ketimurannya masih cukup kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa ia telah mempraktekkan silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber dari kekurangpahaman mereka akan hakikat silaturrahmi. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”.
“Penyambung silaturrahmi (yang hakiki) bukanlah orang yang menyambung hubungan dengan kerabat manakala mereka menyambungnya. Namun penyambung hakiki adalah orang yang jika hubungan kerabatnya diputus maka ia akan menyambungnya”. HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr.
Sebab kata menyambung mengandung makna menyambungkan sesuatu yang telah putus. Adapun orang yang menjaga hubungan kaum kerabat manakala mereka menjaganya, pada hakikatnya dia bukanlah sedang menyambung hubungan, namun ia hanya mengimbangi atau membalas kebaikan kerabat dengan kebaikan serupa.
Membumikan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam tersebut di atas dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya bukan suatu hal yang ringan; sebab kita harus mengorbankan perasaan. Bagaimana tidak, sedangkan kita tertuntut untuk berbuat baik terhadap orang yang menyakiti kita, tersenyum pada orang yang cemberut pada kita, memuji orang yang mencela kita, memberi orang yang enggan memberi kita, dan sifat-sifat mulia berat lainnya. Karena itulah ganjaran yang dijanjikan Allah pun besar. Abu Hurairah bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ!”. فَقَالَ: “لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ”
Pernah ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasul, saya memiliki kerabat yang berusaha untuk kusambung namun mereka memutus (hubungan dengan)ku, aku berusaha berbuat baik padanya namun mereka menyakitiku, aku mengasihi mereka namun mereka berbuat jahat padaku!”.
“Andaikan kenyataannya sebagaimana yang kau katakan, maka sejatinya engkau bagaikan sedang memberinya makan abu panas . Dan selama sikapmu seperti itu; niscaya engkau akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menghadapi mereka”. HR. Muslim.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, dalam menyikapi silaturrahim, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan:
  • Penyambung hakiki silaturrahim. Yakni mereka yang tetap menyambung silaturrahim manakala diputus.
  • Pembalas ‘jasa’. Yakni mereka yang bersilaturrahmi dengan kerabat yang mau bersilaturrahim padanya dan berbuat baik manakala ia dibaiki.
  • Pemutus silaturrahim.

Hattori Hanzo, Iga Ninja Paling Terkenal dalam Sejarah Jepang

Hattori Hanzo (1542-23 Desember 1596), dikenal pula dengan nama Hattori Masanari, adalah sala seorang ninja terkemuka dalam sejarah Jepang. Ia sering muncul dalam manga dan novel fiksi, digambarkan berpakaian serba hitam serta memiliki kemampuan ninjutsu yang luar biasa. Mulai dari ilmu meringankan tubuh, menyelam, bergerak di bawah tanah sampai menyamarkan diri di kegelapan. Ironisnya, dalam berbagai ensiklopedia sejarah, Hanzo jarang tertulis atau terkenal sebagai seorang ninja. Yang pasti, ia tercatat melayani Tokugawa Ieyasu dengan sangat setia. Atas kepandaiannya dalam menyusun taktik, ia mendapat julukan Oni-Hanzo (Devil Hanzo).

Hattori Hanzo Early Life
Dalam legenda, Hattori Hanzo tercatat sebagai seorang superhuman ninja warrior. Dikisahkan Hanzo memiliki kemamuan untuk menghilangkan diri yang sangat sempurna. Ia juga menguasai ilmu penggunaan tali untuk menangkap musuh secara tepat. Kemampuan psychokinesis dan psychomancy pun konon dikuasai oleh Hanzo, membuatnya dapat memprediksikan taktik serta kekuatan lawan secara akurat. Selain seorang ninja, ia juga dikenal sebagai ahli pedang berkemampuan tinggi, seorang penyusun taktik jitu sekaligus piawai dalam memakai tombak. Hattori Hanzo mulai belajar ilmu bela diri pada usia 8 tahun di Gunung Kurama dan pada usia 12 tahun berhasil menjadi seorang ninja. Di usia 18 tahun, Hanzo dengan sukses menggapai posisi master ninja. Ayahnya, yakni Yasunaga, melayani Matsudaira Kuyoyasu selaku pemimpin klan Mikawa sekaligus kakek dari Ieyasu Tokugawa. Meski terlahir dan dibesarkan di provinsi Mikawa, ia sering kembali ke Iga selaku rumah dari keluarga Hattori yang memiliki kekuasaan sebagai pemimpin komunitas ninja di provinsi Iga.

Hanzo dan Ieyasu Tokugawa
Hubungan antara Hanzo dan Tokugawa Ieyasu, shogun Jepang, bermula saat Hanzo berumur 26 tahun. Ketika tinggal di Mikawa, ia menantang Hanzo untuk menahan nafas dalam air dan bahkan mencekik leher Hanzo dengan selembar kain. Tantangan itu dihadapi Hanzo dengan tenang dan akhirnya ia keluar menjadi pemenang. Ieyasu yang pucat dan terengah-engah karena kehabisan nafas bertanya mengenai berapa lama seorang ninja dapat bertahan dalam air, yang dijawab oleh Hanzo, ”Satu atau dua hari, tergantung permintaan tauan.” Untuk membuktikannya, ia kembali menyelam ke dalam air sampai beberapa jam lamanya hingga Ieyasu cemas dan mulai memanggil-manggil namanya. Hanzo muncul ke permukaan tanpa tanda-tanda kehabisan nafas lalu menyerahkan sebuah pedang pendek yang tadinya ada di pinggang Ieyasu. Ieyasu langsung terpukau dengan kemampuan Hanzo dan menjadikannya anak buah andalan sekaligus sahabatnya.

Ieyasu Tokugawa lalu mendirikan pemerintahan pusat yang bertahan selama 300 tahun, bertahan selama 15 tahun generasi keturunannya. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari kemampuan Ieyasu dalam melobi banyak prajurit bertalenta tinggi. Ia memperkerjakan banyak orang dengan latar belakang yang berbeda dalam usahanya mengumpulkan ilmu dan pengetahuan. Ieyasu juga banyak dibantu oleh klan ninja, terutama Hanzo. Selama Warring States Period, para ninja merupakan agen penting dalam pengumpulan informasi dan eksekusi yang cepat. Meski banyak daimyo yang memperkerjakan ninja tetapi tidak ada daimyo sepintar Ieyasu yang cara piki dan kepandaiannya disukai para ninja. Salah satu kesuksesan dan bukti kesetiaan Hanzo pada Ieyasu adalah ketika Ieyasu mencium niat pemberontakan pada Nobunaga di Honno-ji temple. Hanzo meminta tuannya untuk mampir ke Iga, kembali ke Mikawa dengan bantuan para ninja Iga dan Koga lalu menyerang para prajurit yang berkhianat. Ieyasu pun setuju dengan usul Hanzo. Setelah mengumpulkan sekitar 300 ninja, Hanzo menyerang Honno-ji sementara Ieyasu disembunyikan di Mikawa. Keberhasilan Hanzo dibalas dengan memperkerjakan semua ninja yang membantunya dalam pertempuran tersebut.

Lalu di tahun 1590, ketika Ieyasu tinggal di Edo, para ninja diberikan tempat tinggal di sayap barat istana Edo. Area tersebut dinamakan Hanzo-Cho, dan salah satu gerbang istana dinamakan Hanzo-mon (Gerbang Hanzo). Saat Battle of Winter dan Battle of Summer yang terjadi di Osaka tahun 1614-1615, menjadi pertempuran paling besar yang pernah terjadi di Jepang. Dalam perang tersebut, para ninja mencapai puncak kejayaan dimana peran mereka sangat besar dalam mempertahankan pimpinan serta mengirim informasi. Ketika Sanada Yukimura, salah seorang jendral Toyotomi terkemuka sibuk menyusun taktik di istana Osaka, Ieyasu mengirimkan surat panah berisi tawaran 100.000 koku beras. Ieyasu juga menyuruh para ninja menyamar sebagai ronin dan memasuki istana Osaka untuk mengumpulkan informasi. Kemampuan mereka untuk menyamar akhirnya membuat klan Toyotomi kecolongan banyak informasi berharga, yang mengarah pada kejatuhannya di Battle of Winter dan Battle of Summer.

The Death of Hanzo Hattori
Hattori Hanzo meninggal di tahun 1596 pada usia 55 tahun. Ada yang mengatakan Hattori meninggal karena sakit, tetapi ada juga yang percaya bahwa Hattori dibunuh dalam sebuah pertempuran oleh ninja bernama Fuma Kotaro. Kekuasaan Hattori diturunkan kepada anaknya Masanari yang baru berusia 18 tahun ketika ayahnya meninggal. Sayangnya ia tidak menguasai ninjutsu dan lalai dalam memimpin klan Iga sehingga para ninja menganggap Masanari tidak pantas menwarisi nama besar Hanzo dan mengakibatkan perpecahan. Para ninja yang memberontak mendesak Masanari untuk turun dari tampuk pimpinan. Jumlah ninja yang memberontak tidak tercatat dengan jelas tetapi para sejarawan mencatat pemberontakan tersebut sebagai salah satu pemberontakan paling besar dalam sejarah Jepang. Di tahun 1605, klan Iga terpecah menjadi 4 bagian dan masing-masing dipimpin oleh samurai berkedudukan rendah. Iga pun tidak pernah lagi mencapai kejayaan seperti yang pernah diraih Hanzo.

SEJARAH BATIK NUSANTARA

Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran agama Islam di Tanah Jawa. kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja yang lain. Kesenian batik ini mulai menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru sekitar tahun 1920,setelah perang Dunia selesai. Adapun kaitan dengan penyebaran agama Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian nasional Belanda.
Kesenian batik adalah gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton lalu kesenian batik ini dikembangkan oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

ZAMAN MAJAPAHIT

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung yang adalah riwayat pembatikan didaerah ini, dapat diambil dari peninggalan masa kejayaan kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulung agung dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, yang tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit. Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di kwali, mojosari,dan daerah-daerah di sekitarnya. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang.
Ciri khas dari batik dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipengaruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya tentara kolonial Belanda dengan tentara bala pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian tentara bala pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke timur dan sampai sekarang daerah itu bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung.

Aku Hanya Manusia

Sayup-sayup terdengar alunan syahdu bacaan ayat-ayat suci Al Quran dendangan ibu. Dengan mata yang baru terbuka separuh, aku menoleh ke arah jam di dinding. Dalam samar-samar cahaya lampu tidur aku mengagak… baru pukul empat lebih. Apahal pula ibu bangun membaca surat-surat Allah di kala orang lain dibuai mimpi? Belum pernah aku mendengar ibu membaca Al Quran walaupun pada siang hari. Apatah lagi pada pagi-pagi buta begini. Aku juga tidak pasti sama ada ibu mampu bertilawah dengan baik atau tidak. Aku bingkas bangun lalu membetulkan urat-urat badan.Sebaik-baik sahaja pintu bilik dibuka, aku ternampak Najib, adik bongsuku sedang mengulangkaji pelajaran agaknya di meja tulis comel diterangi lampu kecil. Rasa hairan bermain dalam dada… tak pernah si Najib ni “study” sebelum subuh. Selalunya dia berjaga sampai pukul dua baru masuk tidur. Apakah dia mendapat petua baru? Atau… adakah Ustaz Azman berpesan apa-apa?
Teringat aku sewaktu di tingkatan tiga dulu. Dalam satu perkhemahan pengakap, Ustaz Azman dijemput memberikan tazkirah selepas solat fardhu Maghrib berjemaah. Ada dia menyentuh tentang “study”. Dari situlah aku baru mengetahui masa terbaik untuk “study”, yang akan memudahkan hafalan, menyihatkan tubuh badan, mendatangkan hidayah dan barakah, mengilhamkan pemahaman serta lebih mendekatkan diri kepada Allah- pada dua pertiga malam iaitu antara pukul dua pagi hinggalah ke waktu subuh. Boleh jadi… Najib pun dah tahu.
Aku mengintai ke bilik ibu yang sememangnya tidak berpintu, hanya dihijab sehelai kain pintu berwarna hijau berbunga biru muda dan merah jambu. Ibu masih melagukan ayat-ayat Allah dengan nada suara sederhana. Ibu bertelekung! Sudah tentu ibu bangun solat malam. Peliknya! Sebelum ini ibu hanya solat Maghrib dan Isya’ saja, waktu-waktu lain tak berapa ambil berat.
Lebih pelik lagi… kulihat ayah dengan berketayap putih duduk bersila di tepi katil. Keadaannya seolah-olah orang sedang bertafakur. Mulutnya kumat-kamit. Kupasang telinga baik-baik, apalah agaknya yang ayah baca tu. Sesekali agak keras suaranya.
Subhanallah… ayah sedang mengkhatamkan zikir persediaan Naqsyabandiah. Selama inipun memang aku ada mengamalkannya sendiri-sendiri. Zikir itu kuperolehi sewaktu mempelajari ilmu perubatan Islam daripada Darus Syifa’ kelolaan Dr. Haron Din di universiti dulu. Daripada mana pula ayah memperolehinya? Setahu aku… ayah jarang-jarang solat. Berjemaah ke surau teramatlah jauhnya kecuali sewaktu Kak Ngah nak kahwin-sebab takut orang kampung tak datang gotong-royong masak. Lepas tu haram tak jejak kaki ke surau.
Aku beredar ke ruang tamu. Keriut bunyi lantai papan yang kupijak telah menyedarkan Shahrul, seorang lagi adik lelakiku. Lampu ruang tamu tak bertutup rupanya.
“Dah pukul berapa kak?”
“Emmm… dah empat lebih,”sahutku sambil melabuhkan punggung di atas kusyen.
Shahrul bangun dan terus ke bilik air. Tak lama kemudian dia masuk ke biliknya. Aku pasti dia sembahyang.
Apa dah jadi dengan rumah ni? Naik bingung seketika…
Aku rasa Shahrul terlena sewaktu membaca kerana ada sebuah buku di kusyen panjang tempat tidurnya tadi. Masih cantik sifat-sifat buku itu, mungkin baru dibeli. Kucuba membaca tajuknya… Perjuangan Wali Songo di Indonesia. Masyaallah, Shahrul boleh tertidur membaca buku tersebut? Aku yakin si Shahrul ni tak pernah baca buku-buku agama pun. Yang diminatinya tak lain itulah… majalah sukan, komik dan hiburan. Seribu satu macam pertanyaan berlegar dalam kepalaku.
Memang pernah ayah dan adik-adik bangun atau berjaga malam… untuk menonton perlawanan bola sepak. Tetapi kali ini mereka bangun untuk beribadah!
Sudah lebih lima tahun aku berusaha untuk menghidupkan roh Islam di rumah ini namun kejayaannya cuma secubit. Keluargaku tidak menunjukkan minat untuk membudayakan Islam dalam rumah kami. Kalau ayah dan ibu sendiri menentang, bagaimana dengan adik-adik? Kak Long Tikah dan Kak Ngah Ilah masing-masing telah berumahtangga, jadi… tak kisahlah. Namun ada keganjilan yang sukar kutafsir tika ini sedang berlaku di dalam rumah.
Selepas solat tahajjud aku terus berbaring. Lesu akibat perjalanan jauh masih terasa. Maklumlah, baru tengah malam semalam tiba dari Kota Jakarta, tempat kubekerja sebaik-baik sahaja lulus dari universiti.
Aku terjaga sekali lagi apabila deruman enjin motosikal menerjah gegendang telingaku. Kalau tak silap itu bunyi motosikal ayah. Motosikal mula bergerak lalu menuju ke jalan besar. Menurut di belakang adalah bunyi kayuhan basikal. Makin lama makin jauh.
“Ada… ooo Ada,” laung ibu sambil mengetuk pintu bilik.
“Ya mak,” sahut ku lemah.
“Bangun solat Subuh ye nak.”
“Ha’ah,” aku patuh.
“Mak… ayah pergi mana?” soalku ingin tahu.
“Ke surau dengan adik-adik… berjemaah.”
Alangkah indahnya suasana fajar kali ini. Inilah suasana waktu fajar yang telah lama kuimpikan. Selama beberapa tahun aku merindukan suasana ini… rindu pada kedamaian, rindu pada ketenangan, rindukan kesejahteraan dan juga kebahagiaan hidup berbudayakan roh Islam. Dulu, subuh-subuh begini hanya ada aku seorang… bersama Kekasih, kini sudah ramai… juga bersama Kekasih. Terasa rumahku yang selama ini suram mula bercahaya… telah ada jiwa…
@@@
Aku menolong ibu menyediakan sarapan di dapur. Rezeki kami pada hari itu adalah cempedak goreng. Ayah masih di bilik. Menurut ibu, ayah akan terus berzikir sehingga terbit matahari pada hari-hari cuti. Tidak ada seorangpun ahli keluarga yang berbaring atau tidur. Semua ada aktiviti masing-masing selepas solat Subuh. Bukankah tidur selepas Subuh itu membawa kemiskinan, penyakit, malas dan lain-lain kesan negatif?
Shahrul dan Najib berada di bahagian belakang rumah yang sememangnya agak luas. Pada mulanya aku berasa janggal melihat mereka bersiap-siap. Apabila kutanya jawab mereka “nak riadah, ayah suruh”. Bukankah sebelum ini mereka kaki tidur nombor satu? Kalau hari cuti, dah tentu pukul sepuluh ke atas baru bangun. Lepas bangun menonton televisyen. Tengah hari baru mandi. Sekarang sudah berbeza benar.
Sesekali aku menjenguk mereka melalui tingkap dapur. Kalau tadinya mereka terkejar-kejar berlari anak keliling rumah, kini mereka berkuntau pula. Memang budak-budak berdua ni aktif dalam persatuan silat di sekolah, tapi tak pernah pula mereka berlatih pada waktu pagi. Bergomol dan berkunci-kuncian sampai basah kena air embun di rumput. Ini rupanya riadah mereka. Eloklah… memang digalakkan Islam.
Pagi itu kami menghadap sarapan secara berjemaah, semua ada. Ayah sendiri yang membaca doa beserta maksudnya sekali. Amboi, hebat juga ayah kami ni! Aku mengingatkan adik-adik supaya selalu menyebut nama Allah di dalam hati sepanjang masa makan. Mak dan ayah mengiyakan kata-kataku itu. Seronok rasanya mendapat sokongan mak dan ayah. Sebelum ini kalau aku menegur adik-adik tentang agama, cepat benar muka mereka berubah. Namun Allah Yang Maha Merancang bisa mengubah segalanya. Syukur.
Ayah ke pasar bersama Shahrul sementara Najib pergi ke rumah kawannya Hafiz untuk meminjamkan kaset kumpulan nasyid Raihan dan Diwani. Peluang ini kuambil untuk mengorek cerita daripada ibu.
“Mak, Ada rasa seronok balik kali ini.”
“Iyelah, dah dekat setahun Ada tak balik… tentulah seronok,” balas ibu sambil tersenyum.
“Ada rasa kan mak, rumah kita ni dah ada roh… tak macam dulu…”
Ibu tidak terus menjawab apa-apa. Dia menarik nafas panjang. Kepalanya didongakkan ke dinding, menatap sebuah lukisan pemandangan yang cantik hadiah daripada menantunya Zamri, suami Kak Long. Lukisan itu adalah hasil tangan Abang Zamri sendiri
“Ini semua kerja Allah Ada. Mak sedar Ada sentiasa cuba merubah cara hidup keluarga kita… supaya kita berpegang dengan budaya Islam. Kami pandang remeh aje segala saranan dan teguran Ada.”
Ibu mengalihkan pandangannya ke arahku. “Itulah… kalau Allah nak ubah, siapapun tak sangka.”
“Apa dah jadi Mak?” soalku lebih serius.
“Abang Zamri Ada tu le… bukan sebarangan orang. Dalam diam-diam dia mendakwahkan budaya hidup Islam kat kita. Memanglah mulanya tu kami buat tak tahu… dia berjemaah ke surau ke, dia baca Quran ke, berzikir ke, cara dia berpakaian ke, apa ke di rumah kita ni.”
Memang kuakui Abang Zamri lain daripada yang lain. Sejak mula berkahwin dengan Kak Long lagi jelas perawakannya yang mulia. Gerak lakunya sopan. Tidak pernah meninggi diri.Tidak bergurau berlebih-lebihan. Hormat kepada orang tua. Mengasihi adik-adik. Kalau berbicara dengannya, dia tidak pernah lari daripada berbicara tentang Islam. Dia seolah-olah tidak terpengaruh dengan keseronokan dunia. Tidak ada perkara lain yang dicintainya selain daripada berjuang untuk Islam.
Abang Zamri jarang sangat pernah bercerita tentang kereta mewah, rumah besar, duit banyak, pangkat tinggi, perempuan cantik, muzik, filem, bolasepak, para artis, pakaian cantik dan lain-lain sedangkan semua itu diperkatakan sehari-hari dalam keluarga kami. Sememangnya dia ada kelebihan yang dikurniakan Allah SWT. Entahlah apa yang telah dibuatnya hingga keluarga kami berubah. Ingin kutanya pada ibu tapi… tunggulah nanti, apabila ada masa yang sesuai, insyaallah.
@@@
“Mak, Ayah, Shahrul dan Najib pergi ke rumah mak mertua Kak Long Ada… rumah keluarga Abang Zamri…”
“Mak ke Terengganu?” soalku.
“Iye, cuti penggal sekolah hari tukan Ada tak balik… kami pergi le ziarah besan kami.”
“Habis tu… apa yang jadi?”
Ibu terus bercerita dengan anjang lebar sambil kami melipat kain baju. Menurut ibu, keluarga Abang Zamri bukanlah orang senang. Adik-beradiknya seramai sembilan orang. Namun corak kehidupan mereka sungguh aman bahagia dan tenang Banyak perkara baru yang ibu dan ayah pelajari selama lima hari berada di sana.
Waktu tiba di kampung halaman Abang Zamri, keluarga kami disambut meriah dan penuh hormat. Gembira sungguh mereka menerima tetamu. Masing-masing dengan wajah ceria dan menampakkan ketenangan. Adik-adik Abang Zamri semua mencium tangan ibu dan ayah sementara Shahrul dan Najib dipeluk seolah-olah kawan lama. Ayah dan ibu agak terkejut dengan situasi tersebut kerana sebelum ini anak-anak sendiri pun susah nak cium tangan.
Rumah mereka bersih walaupun tidak mewah. Begitu juga dengan halamannya yang terjaga. Irama nasyid, bacaan al Quran, zikir munajat dan ceramah agama silih berganti kedengaran daripada radio kaset mereka. kalau di rumah kami tu, dari padi sampai ke malam dipenuhi dengan lagu-lagu artis tempatan dan luar negara.
Waktu Subuh sangat indah di sana. Sejak jam empat pagi lagi rumah itu telah dipenuhi dengan ibadah-ibadah sunat. Ada yang bertilawah, ada yang berzikir, ada yang solat dan sebagainya. Kemudian, yang lelakinya beramai-ramai solat fardhu Subh berjemaah ke masjid. Oleh kerana malu-malu alah, Ayah pun terpaksalah bangun dan pergi ke masjid sekali.
Dari awal pagi lagi keluarga Abang Zamri yang lelakinya turun ke pantai yang nampak dari rumah mereka. Mereka duduk mengelilingi Pak Luqman, bapa kepada Abang Zamri untuk mendengar tazkirah pendek. Kemudian adik-adik Abang Zamri yang kecil berlari-lari anak dalam satu barisan sepanjang pantai. Abang Zamri dan bapanya pula membasahkan tubuh dengan air embun yang diambil daripada pokok-pokok kayu. Tujuannya untuk menjaga kekuatan badan. Ayah hanya tersengih apabila dipelawa oleh Pakcik Luqman. Begitulah rutinnya setiap pagi selama ayah dan ibu berada di sana.
Waktu bersarapan tiba. Semua isi rumah ada, tidaklah seperti rumah kami- sarapan sendiri-sendiri. Mereka menghadap makanan dengan wajah yang manis, dimulakan dengan doa. Alangkah mesranya hubungan sesama mereka. Terasa suatu perasaan tenang yang sukar digambarkan. Sepanjnag masa makan, mereka banyak berbucara tentang kebesaran Allah dan nikmat-nikmat-Nya. Ayah dan ibu terpaksa bermuka-muka kerana tak tahu apa yang nak dicakapkan. Nak menyampuk… takut tak kena pula jalannya.
Selepas mengemaskan rumah secara bergotong-royong, adik-adik Abang Zamri berkumpul di serambi rumah. Mereka disertai oleh dua tiga orang anak-anak jiran. Rupanya mereka berlatih nasyid, siap dengan genderangnya sekali. Mereka mendendangkan lagu-lagu nasyid popular dan juga lagu ciptaan mereka sendiri. Sura mereka yang berharmoni indah bergema sampailah ke tengah hari. Kata emak Abang Zamri, kumpulan nasyid budah-budak itu sering menerima jemputan di sekitar daerah. Selama lima hari di sana, ibu sudah jatuh cinta dengan irama nasyid. Boleh dikatakan setiap album nasyid terbaru mesti dibelinya selepas itu. Dulu, ibu bukan main lagi… dengan karaoke dangdutnya yang terdengar sampai ke tengahjalan. Tentu ibu malu kalau terkenangkannya.
Kononnya hubungan Pakcik Luqman dengan isterinya sangat baik… macam baru berkahwin. Mereka selalu tersenyum dan bergurau, malah nampak malu-malu walaupun sudah tua. Kalau duduk tu… mesti nak rapat-rapat. Isterinya pun bukan main taat lagi kepada suami. Mungkin inilah yang membuatkan ibu dan ayah terasa sangat. Al maklumlah, mereka di rumah memang tak ampak mesra. Bergurau jarang, bertegang leher selalu. Benda kecil pun nak bertekak. Ayah balik dari luar pun tak pernah ibu sambut. Masing-masing dengan hal sendiri. Berbincang hal agama… jauh sekali.
Pelbagai pengalaman baru yang ibu dan ayah dapat di Terengganu. Agaknya mereka telah menemui formula keluarga bahagia… dan mahu mempraktikkannya dalam keluarga kami. Alangkah indahnya keluargaku kini…alangkah sayangnya Allah kepada keluargaku…aku bersyukur kepada-Mu ya Allah.
“Eh, Ada dengar ke apa yang Mak ceritakan ni?” soal ibu apabila melihat aku tersenyum mengelamun.
“Eh… mmm…dengar Mak”, jawabku serba salah.
“Mak sebenarnya berkenan pulak dengan sepupu Abang Zamri di terengganu yang ama Shahrul tu…”
“Alah mak ni… nak cerita pasal kahwin le tu”, cetusku lalu segera beredar ke dapur.

Tak Seperti Sore Biasanya

Sore itu seperti sore biasa, Mia pulang terlambat dari sekolahnya. Kegiatan ekstra kulikuler SMA banyak menyita waktunya akhir-akhir ini. Dia membuka pintu dengan lemas dan segera menuju dapur. Berharap segelas air putih, bisa meyejukkan tenggorokannya yang kering. Belum dia menyentuh ketel air yang berwarna biru itu, langkahnya terhenti. Dia melihat ibunya tertidur diatas sofa, di pojok ruang makan itu.tangan ibunya masih memegang celemek yang dia pakai jika memasak.

Wajah ibunya yang dimakan usia tersirat hidupnya yang getir. Setiap hari tanpa henti mengupas bumbu dapur lalu menjualnya kerumah makan. Harga yang didapat tidak pernah sebanding dengan keringat dan luka yang membekas dijarinya. Mata mia berkaca-kaca, dia mendekati ibunya lalu mencium keningnya.

"ibu, aku pulang." sapa mia dengan lembut, lalu dia bermanja, memijat kaki ibunya perlahan.

"ibu ketiduran ya?" beliau tersipu, lalu mengelus rambut anak perempuannya itu.

"pindah kekamar bu, biar aku yang melanjutkan pekerjaan ibu" kata mia.

"jangan, kau buat saja PR-mu. ibu sudah tidak lelah lagi." ibunya lalu berdiri.

"ibu, aku saja." mia merengek.

Ibunya menggelengkan kepala. Jika dia diam artinya dia serius. Mia yang sedikit kecewa. Duduk di meja makan dan mengeluarkan bukunya. Ibunya tersenyum melihat anak perempuannya mulai belajar. Karena bagi dirinya ilmu adalah misteri. Dia tidak bisa membaca dan menulis. Karena itu dia mempunyai hasrat yang kuat, agar anaknya tidak bernasib seperti dirinya. Mia terkejut, teh hangat dan manis kini ada didepannya. Ibunya yang diam-diam membelakanginya ternyata membuatnya teh kesukaannya.

Sore itu masih seperti biasa samapai seorang lelaki mabuk datang dan berteriak-teriak.
"istriku, mana istriku yang ke tiga ini bersembunyi" lelaki itu berjalan oleng dan menjatuhkan beberapa keramik.

"itu ayahmu, mia, kau masuklah kekamarmu. sembunyi" ibunya panik. Mia pun bereaksi refleks. Karena hal ini sudah dilakukannya sejak masih kecil. Mia duduk dipojok kamarnya, memeluk bantal, memejamkan mata tapi telinganya mencuri dengar.

"mana uang itu?, ke***at" ayah mia memaki ibunya.

"ampun pak, uang itu untuk mia sekolah. jangan pak" ibu mia memelas.

"ja****m, anak itu tidak perlu sekolah. kau kawin kan saja dia." lalu terdengar suara tamparan yang keras.

"jangan pak. pukul saja aku sepuasmu, tapi jangan renggut masa depan mia." ibunya memelas lagi.

PRAAKKKKKK, suara pecahan kaca terhempas. Mia semakn mengerut. Lalu terdengar suara orang yang berlari. Tapi suara ibunya tak terdengar sama sekali.

Mia keluar kamar dengan tubuh gemetar, dia perlahan mendekati kamar ibunya. Gemetar tubuh mia terhenti. Dia terhempas kelantai melihat tubuh ibunya. Darah mengalir dikepala ibunya.  Tubuhnya mulai basah karena darah. Tangan ibunya masih menggenggam beberapa helai uang ribuan. Uang yang akan menjanjikan masa depan Mia. Dia tertegun, orang yang paling dicintai dan disayangnya kini terbaring tak bernyawa.

Seperti orang kehilangan jiwa mia berjalan pelan menuju dapur. Diambilnya pisau yang masih tergeletak dilantai. Lalu dia berjalan pelan keluar rumahnya seperti tidak ada apa-apa. Didalam kepalanya saat ini. Hanya ada satu hal.

Mengeluarkan hati ayahnya yang menurutnya tak pernah dipakai.

Kasih Sepanjang Jalan

      Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan. 
     Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar. 
     Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc 
     Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan. 
     Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah. 
    Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu. 
     Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan. 
     Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu. 
    Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku. 
    Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan. 
    Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua. 
    Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah. 
    Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga. 
    Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu.... 
    Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan. 
     Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu. 
     Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu. 
     Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...
     Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.

Princess di Kos-kosan Depan Warnetku


Perfect Princess. Judge mind itu langsung aku voniskan pada Gadis cantik berjilbab biru yang nge kos di depan warnet tempat kerjaku. Wajahnya begitu teduh dan cantik. Sikapnya yang santun, tutur bahasanya yang lembut. Pokoknya moralnya sesuai dasa darma pramuka, Garis-garis besar haluan Negara dan berlandaskan Pancasila serta Undang-undang dasar empat lima, tiada cela. Parfait, sempurna kalau kata orang Perancis sana. Senyumnya yang menawan selalu membuat hatiku kebat-kebit ketika tanpa sengaja bertatap muka denganya. Duch…Tipe gadis yang pantas di bawa ke rumah dan di kenalin sama bapak ibuku yang begitu menjunjung tinggi norma-norma agama. Sering aku berkata dalam hati “Ini loh mak.. menantu idamanmu” lalu aku senyam-senyum sendiri. Gila kali hehehe..Aku tidak bisa berhenti memikirkan dia. Dia itu tipe Gue banget. Seluruh resolusi cintaku adalah dia, my Perfect Princess.

“Gue juga mau mas yang tipe kayak dia. Limited edition, langka. Udah cantik, baik, pinter, soleha byuh.. byuh… kurang apa coba”
Celetuk temanku saat melihat dia.

“Limited edition, loe kira mobil”
Sahutku asal, tapi dalam hati bangga. Ternyata pilihan hatiku benar-benar ga salah. She is my Aisyah..

My aisyah, ngimpi kali. Coba liat diriku ini. Cuma teknisi komputer dengan gaji tidak menentu, tergantung pendapatan warnet, turun naik kayak harga sembako di pasaran. Udah tampang dekil, jauh dari tampang ustadz Jefry al buchory yang ganteng itu, apalagi di bandingin sama dari Brad Pitt. Jauh bangettt. Dengan semua alasan yang menyakitkan ini aku sudah minder duluan untuk mendekati dia. Dia begitu ah.. sempurna. Cantik, semampai, solehah, mahasiswa Sastra Inggris di universitas yang kredibel, berlabel PTN. Perguruan Tinggi Negeri yang tau sendiri reputasi otak mahasiswanya di akui sebagai kumpulan orang-orang smart. Jauh banget perbedaanku dengan dia, bagaikan langit dan bumi. Pungguk merindukan bulan. Ibarat berdiri di depan toko barang-barang mewah.

Belum masuk, barang-barang itu sudah mengejekku duluan.
“Mau beli barang branded, ngaca dulu deh”
Fyuh.. capek ati jadinya. Ungu banget. Cinta dalam hati.
Aku bisanya ya Cuma memandangi wajahnya yang halus, teduh itu secara diam-diam. Secret admirer. Aku menyebutnya seperti itu. Yah biar keren dikit impor bahasa dari negerinya Pangeran William.

Sesekali sang princess mampir ke warnetku, bikin tugas kuliah lah, ngetik inilah, nyari bahan paper lah. Dan beruntungnya, aku yang selalu di cari oleh dia. Aku yang selalu di mintai bantuan oleh dia. Bikin hatiku kembang seperti balon yang di tiup. Euforia saking girang plus bangga. Hahaha
“Mas cariin bahan utuk tugas makalahku donk”
Sang princess memamerkan senyumnya yang aduhai..mak aku terpesona. Mulanya aku gelagapan. Tapi langsung berusaha menguasai diri. Aje gile Cuma mendengar suara merdunya, melihat senyum manisnya denyut jantungku sudah berdetak dua kali lebih cepat dari normal.

“Eh iya, boleh” Kataku berusaha kalem. Jaim. Padahal dalam hati, aku berkata Anything for you my princess.
Lalu dengan soknya ahlinya aku menjelaskan ini itu tentang situs-situs yang perlu di kunjungi untuk mencari bahan tugasnya. Aku bicara panjang lebar tentang download, tentang PDF, tentang software antivirus, tentang internet, seolah-olah aku ini pakarnya. Sikapku mendadak berubah jadi Inocent di hadapanya. Gini nich penyakit cinta. Bikin orang jadi gila. Tapi biarlah gila.. karena cinta memang gila.

Suatu hari aku pernah di minta datang ke tempat kosnya. Bagai kesetrum aku menerima undangan itu. What?!! She want me to go to her room. Aku sampai mencubit lenganku untuk memastikan this is real. I’m not dreaming.

Tanpa banyak ini itu aku bergegas ke rumah kos cewek depan warnetku. Ku temukan sekumpulan mahasiswi yang ngekos di situ sedang bercanda di depan rumah. Aku basa-basi menyapa mereka.
“Sudah di tunggu di dalam mas” kata seorang dari mereka

Hah.. sudah di tunggu di dalam katanya. Kira-kira mau ngapain ya dia sampai mengundangku masuk ke kamarnya. Hatiku deg-degan, keringatku panas dingin ga karuan.

“Eh, mas sudah datang”
Begitu melihatku sang princess tersenyum ramah. Jilbab biru, dan gamis motif bunga-bunga yang dia kenakan menjadikan dia begitu cantik sore ini. Oh Aisyah impianku.. Aku seperti meleleh di hadapanya.
“Masuk mas, saya mau minta tolong. Maaf lho.. ngrepotin terus”
Aku Cuma tersenyum, dalam senyumku itu kira-kira artinya seperti ini, seandainya kamu minta Taj Mahal pun akan ku bangunkan untukmu princessku.

Aku bingung karena dia masuk ke kamar dan mengisyaratkan padaku untuk mengikutinya. Gundah gulana, hatiku berteriak-teriak
“Kita bukan muhrim princess, di larang berduaan di dalam kamar”

Pasalnya aku memang laki-laki normal siapa sich yang ga mau berduaan di dalam kamar, tapi masa kecilku juga full dengan wejangan-wejangan ayah dan ibu tentang nilai-nilai agama, bagaimana menjadi lelaki yang baik. Tapi toh suara itu Cuma numpang lewat di hempas angin lalu aku melangkah ke dalam kamar dengan gugup. Sesampainya di dalam, princess sudah menyambutku dengan senyum yang lebar.

“Ini loh mas, Komputerku trobel, tolong di cek in ya..”
Aku melongo..
***

Sudah berhari-hari ini aku tidak enak makan, tidak enak tidur, tidak semangat kerja. Ini lantaran sudah berhari-hari pula aku tidak melihat princess. Biasanya tiap sore dia pulang kuliah aku melihatnya melintas di depan warnet. Ya iyalah orang warnetku di depan kosnya dia hehe.

Hatiku langsung adem setiap melihat wajahnya yang teduh, matanya yang bening, senyum yang dia lempar saat melihatku sekilas ke dalam warnet, duh.. Aku merindukan semua itu.. Kata teman-teman kosnya dia sedang mudik ke kampung halamanya. Liburan semester. Hidup tanpa melihatnya bagaikan makan tanpa minum, seret. Anyep, hambar. Itu yang aku rasakan. Ah cinta memang misterius. Kadang begitu membahagiakan, tapi kadang juga begitu menyakitkan.

“My beautiful princess what are you doing now? Don’t you see I miss u so much”
Seandainya berteriak di dalam warnet seperti itu di halalkan dan tidak mendapat cap ‘Orang Gila’ dari pengunjung warnet dia pasti akan melakukanya. Dadaku penuh sesak oleh cinta. Cinta pada princess. Lebay hehe.. tapi biarlah lebay.., cinta memang bikin orang jadi lebay.

Lalu suatu hari aku bertemu princess di depan kos-kosan. Dia sudah pulang dari mudiknya. Wajahnya terlihat begitu ceria. Bibirnya yang indah itu langsung membentuk senyum ketika dia melihatku. Akupun membalas senyum. Duh.. Gusti aku seperti melayang ke langit ke tujuh saking bahagianya. Aku benar-benar terharu dengan perasaanku. Dalam hati aku berdoa...
“Semoga kamu adalah jodohku nanti princess”

Tapi senyumku yang tadinya mengembang memudar, saat ku lihat seorang pria dengan sepeda motor bebek menghampiri princess. Dan prinsesspun menyambut pria itu dengan senyum yang begitu ramah, matanya yang bening berbinar. Hatiku serasa mendidih. Cemburu.

Tanpa canggung princess lansung duduk di boncengan belakang si pria. Princess dan pria itupun berlalu dari hadpanku dengan sepeda motor bebeknya. Sempat ku lihat senyum kemenangan di bibir pria itu ketika dia tersenyum sekilas padaku seolah senyumnya berkata, sudah tahu barang limited edition yang branded kayak gini kok di biarkan begitu lama. Siapa cepat, dia dapat.

“Itu calon suaminya dia mas” ujar seorang mahasiswi temanya prinsess ketika melihatku masih terheran memandangi kepergian princess dan pria menyebalkan itu.

Aku sempat shock dalam hati. Ini bukan soal patah hati saja. Pasalnya aku akan sangat rela kalau princess mendapatkan calon suami yang layak, setidaknya lebih gantengan dari aku lah. Lha ini sama jeleknya dengan aku, sama dekilnya. Tau gitu tadinya aku lamar duluan. Nasib-nasib..

'Mantan'

Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa.

Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku.

“Tari, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut gemuk?” tanya Wery, sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di samping kanan tempat tidurku.

“Iya, gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan lo enggak gemuk sih?” Hanny yang dari tadi sibuk ber-SMS-an dengan Deni, pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami.

“Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya?” timpa Wery, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka.

“Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya?”

“Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus kedokteran itu dibuka-buka. Jangan disimpan aja,” ledek Wery, sambil tertawa terbahak-bahak.

Kami pun kemudian tertawa.

Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda tawa. Kata-kata yang Hanny dan Wery lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi memang begitulah mereka. Ceplas-ceplos.

Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda. Kalau aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan betah tinggal di kost-an.

“Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia?” Henny masih penasaran.

“Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal, gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada gue meninggal karena kekurangan gizi,” aku yang sejak tadi bergeming, akhirnya menanggapi kata-kata mereka.

“Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan.”

Tok... tok... tok....

Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar.
Wery, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu.

“Tari, gue mau curhat!” Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan pintu kamar, padahal baru lima belas detik Wery membuka pintu. Laras kemudian langsung berlari ke arahku.

“Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini,” tanyaku, heran.

“Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini.”
“Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah.” Hanny protes.

“Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas banget!” Laras marah.

“Hanny memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk.”

Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Hanny dan Wary. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar mereka.

Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan kekeluargaan di antara kami lebih terasa.

Sesampainya di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada tepat di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut berbaring di sampingnya.

“Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia.”

“Ketemu di mana? Namanya siapa?” tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun.

“Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri.”

“Siapa?!” tanyaku, tak percaya.

“Fikri. Fikri Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo, di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya.”
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Laras. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Fikri. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia.

Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya!
***

“Fikri, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak?”

“Enggak ada. Memang ada apa?”

“Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku?”

“Untuk kamu, apa sih yang enggak?”

“Ya sudah. Berangkat, yuk.”

“Oke.”

RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu.

Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis horizontal.

Fikri duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar.

“Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?” tanya Fikri, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan.

Aku bangkit, kemudian berseru, “Fikri, aku ingin bermain dengan ombak.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku.

Aku melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan langkahnya dengan langkahku.
Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku.

“Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku.”

“Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya,” untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan.

“Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan.”

Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang.

“Kamu curang,” seruku, masih dengan tersengal-sengal.

“Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh,” jawab Fikri, sekenanya.

Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal. Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku lebih tenang.

“Sayang, sebenarnya ada apa sih?”.

“Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini,” jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal.

Fikri kemudian tersenyum, sambil berkata, “Aku pikir kamu mau cerita sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu.”

“Masa, sih?”

“Bukannya iya?”

Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk barat.
***

Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal, aku mengatakan, “Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama kamu. Ada seseorang yang lebih pantas untukmu.”
“Maksud kamu apa?!”

Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan. Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang Fikri rasakan saat ini.

“Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu. Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah Laras.”

“Laras?! Saudara kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu!” Fikri marah besar.

Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras. Dan membuatnya bahagia.

Cara Membaca Pikiran Orang Lain dari Bahasa Tubuh

Bahasa tubuh Anda akan mengirimkan sinyal kepada pikiran bawah sadar lawan bicara. Lewat bahasa tubuh, tabir perasaan lawan bicara akan tersibak.

Kita bisa mempelajari bahasa tubuh lawan bicara. Purnawan E. Andoko dari Wellness World memberi rahasianya:

Bahasa Kepala 
- Condong ke arah Anda: tertarik, setuju.
- Menjauh secara mendadak: curiga, tidak percaya.
- Topang dagu: bosan.
- Mengangguk: setuju.
- Banyak menoleh: tidak sabar, ingin menyudahi pembicaraan.

Bahasa Mata 
- 60 persen menatap langsung: tertarik.
- 80 persen tatapan langsung: tertarik secara seksual.
- 100 persen tatapan langsung: perlawanan.
- Penghindaran tatapan: me¬nyem¬bunyikan sesuatu.
- Lensa mata membesar: sangat tertarik.
- Tatapan jatuh ke bawah dan melirik ke kiri/kanan: tertarik pada Anda.
- Lirik kanan/kiri langsung: bosan.
- Kedipan cepat: tidak setuju.

Bahasa Tangan 
- Telapak terbuka ke atas: jujur terbuka.
- Telapak di saku atau tertutup: menyembunyikan sesuatu.
- Mengepal: tegang, tidak nyaman, marah.
- Menutup mulut/hidung: indikasi berbohong.
- Membentuk kerucut: percaya diri atau yakin.
- Tangan di atas meja: siap untuk setuju.
- Jari mengetuk-ngetuk: bosan atau ingin bicara.

Gerakan Lain
 - Dada atau pinggul didekatkan: tertarik secara seksual.
- Kaki mengetuk lantai: ingin bicara atau bosan.

Nada atau Kecepatan Bicara 
- Lambat dan nada akhir turun: yakin dan menguasai.
- Penekanan kata: otoritatif.
- Nada dan kecepatan meninggi: emosi, tegang, atau menyembunyikan sesuatu.

Bahasa Penolakan
 - Kaki atau tangan bersilang.
- Melirik ke kiri/kanan, kepala menoleh ke kiri atau kanan.
- Tatapan langsung minimal.
- Mengetukkan jari atau kaki. Arah kaki tidak kepada Anda.
- Postur tubuh tertutup.

Bahasa Keterbukaan
 - Tatapan langsung banyak dengan lensa mata membesar.
- Tangan menangkup membentuk menara.
- Arah kaki kepada Anda.
- Postur tubuh terbuka.

Bahasa Siap Menerima
 - Kontak mata lebih 60 persen dan banyak senyum lepas.
- Tubuh atau kepala mencondong kepada Anda.
- Banyak anggukan dan wajah menghadap langsung ke Anda.
- Tangan terbuka di atas meja.

Bahasa Curiga
 - Postur tubuh tertutup
- Tangan berada di saku atau posisi menyilang.
- Tatapan melalui sudut mata (lirikan) berulang kali.
- Arah kaki menyerong.

Bahasa Tidak Jujur 
- Banyak menatap ke samping khususnya pada bagian kata atau kalimat bohong.
- Tangan sering menutup mulut atau hidung, atau meraba hidung atau telinga.
- Postur tidak nyaman