rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Minggu, 24 Februari 2013

Memuliakan Orang Berusia Lanjut

Alifmagz – detikRamadan
Jakarta – Pada suatu subuh, Ali bin Abu Thalib bergegas menuju masjid untuk salat berjamaah bersama Rasulullah Saw. Namun di tengah perjalanan, langkahnya terhambat oleh seorang lelaki tua berusia lanjut. Bapak tua itu berjalan lambat di depan Ali.
Suami Fatimah binti Rasulullah itu tak ingin mendesak dan memaksa untuk mendahului bapak tua itu. Ali menghormati karena ketuaannya. Dengan sabar, Ali mengikuti langkah demi langkah bapak tua itu di belakangnya. Sebenarnya, ada keresahan dalam hati Ali. Ia kawatir, tak sempat mengikuti shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw.
Tibalah iring-iringan Ali dan bapak tua itu di depan masjid. Ternyata, bapak tua itu tak memasuki masjid. Tahulah Ali bahwa bapak itu bukanlah seorang muslim, ia seorang Nasrani yang kebetulan sedang melintas. Setelah langkahnya tak terhalang, Ali bergegas memasuki masjid. Syukurlah, Ali masih sempat mengikuti raka’at terakhir.
Seusai shalat berjama’ah, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apa yang terjadi wahai Rasulullah? Tidak seperti biasanya, engkau memperlambat ruku’ yang terakhir?”
Rasulullah Saw pun menjawab, “Ketika ruku’ dan membaca tasbih seperti biasa, aku hendak mengangkat kepalaku untuk berdiri. Tapi Jibril datang, ia membebani punggungku hingga lama sekali. Baru setelah beban itu diangkat, aku bisa mengangkat kepalaku dan berdiri.”
“Mengapa bisa begitu ya Rasulullah?” tanya sahabat yang lain.
“Aku sendiri tak mengetahuinya dan tak bisa menanyakan hal itu kepada Jibril,” jawab Rasulullah Saw.
Maka, datanglah Jibril kepada Rasulullah Saw dan menjelaskan apa yang terjadi. “Wahai Muhammad! Sesungguhnya tadi itu karena Ali tergesa-gesa mengejar shalat berjama’ah, tapi terhalang oleh seorang laki-laki Nasrani tua. Ali menghormatinya dan tak berani mendahului langkah orang tua itu. Ali memberi hak orang tua itu untuk berjalan lebih dulu. Maka, Allah memerintahkanku untuk menetapkanmu dalam keadaan ruku’ hingga Ali bisa menyusul shalat berjama’ah bersamamu.”
Kemudian Rasulullah Saw mengatakan, “Itulah derajat orang yang memuliakan orang tua, meski orang tua itu seorang Nasrani.”

Kemuliaan Taat Kepada Ibu

Suatu saat Rasulullah Saw bercerita kepada para sahabat, “Sungguh, kelak ada orang yang termasuk tabi’in terbaik yang bernama Uwais. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepadanya. Sehingga, kalau dia mau berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Dia punya sedikit bekas penyakit kusta. Oleh karena itu, perintahkan dia untuk berdoa, niscaya dia akan memintakan ampun untuk kalian.” (HR Muslim).
Bernama lengkap Uwais Al-Qarni, ia tinggal bersama ibunya di negeri Yaman. Setiap hari ia menggembalakan domba milik orang lain. Upah yang diterimanya cukup untuk biaya hidup bersama ibunya. Bila ada kelebihan dari upahnya itu terkadang ia berikan kepada tetangganya yang kekurangan.
Ia termasuk orang yang taat beribadah, selalu menjalankan ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. Ia punya suatu keinginan yang belum terlaksana sejak lama yaitu bertemu dengan Rasulullah Saw. Keinginan itu kian memuncak setiap kali melihat tetangganya yang baru pulang dari Madinah dan sempat bertemu Rasulullah Saw. Tetapi apa daya, ibunya sudah tua renta dan sangat lemah. Ia begitu menyayanginya sehingga tak tega meninggalkannya sendiri.
Semakin hari kerinduan bertemu Rasulullah Saw bertumpuk. Ia sangat gelisah mengingat-ingat itu. Suatu hari kerinduannya tak tertahan lagi, ia memberanikan diri mengungkapkan perasaan itu kepada ibunya. Mendengar curahan hati anaknya, ibunya terharu, ia pun diijinkan menemui Rasulullah Saw.
Namun kerinduan itu tak sempat terobati karena saat ia datang, Rasulullah Saw sedang tak berada di rumah. Ingin sekali ia menunggu, tetapi ia teringat pesan ibunya untuk segera pulang. Ia pun memilih taat ibunya dan segera berpamitan pada ‘Aisyah.
Ketika Rasulullah Saw kembali, beliau menanyakan tentang seseorang yang mencarinya. ‘Aisyah menjelaskan kedatangan Uwais. Kemudian Rasulullah Saw mengatakan Uwais yang taat pada ibunya itu penghuni langit. Rasulullah Saw meneruskan keterangan tentang Uwais kepada para sahabat. Seraya memandang Ali dan beliau mengatakan, “Suatu ketika jika kalian bertemu dengan Uwais mintalah doa dan istighfar darinya.”

Kisah Hajar Aswad

Ibrahim as diperintahkan Allah Swt membangun kembali Ka’bah. Ia memenuhi perintah itu dibantu putranya, Isma’il as. Saat hampir selesai mengerjakannya, Ibrahim as merasa ada yang kurang pada Ka’bah. Kemudian ia memerintahkan putranya, “Pergilah engkau mencari sebuah batu lagi yang akan aku letakkan di Ka’bah sebagai penanda bagi manusia.”
Isma’il as mematuhi perintah ayahnya. Ia pergi dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari batu yang paling baik. Ketika sedang mencari, malaikat Jibril datang pada Isma’il as dan memberinya sebuah batu yang cantik. Dengan senang hati ia menerima batu itu dan segera membawa batu itu untuk diberikan pada ayahnya. Ibrahim as pun gembira dan mencium batu itu beberapa kali.
Kemudian Ibrahim as bertanya pada putranya, “Dari mana kamu peroleh batu ini?” Isma’il as menjawab, “Batu ini aku dapat dari yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu.” Ibrahim as mencium batu itu lagi dan diikuti juga oleh Isma’il as.
Begitulah, sampai saat ini banyak yang berharap bisa mencium batu yang dinamai Hajar Aswad itu. Umar bin Khathab pernah menyambaikan bahwa Rasulullah Saw sendiri pernah menciumnya. Saat Umar bin Khaththab berada di hadapan Hajar Aswad dan menciumnya ia berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Saw menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (Hadits no 228 Kitab Sahih Muslim).
Karena sangat bersejarahnya, ada juga orang yang ingin mencuri Hajar Aswad. Di akhir bulan Muharram 1351 H, datanglah seorang laki-laki ke Ka’bah. Ia mencungkil Hajar Aswad, mencuri potongan kain Kiswah, dan membawa sepotong perak dari tangga Ka’bah. Untunglah, penjaga masjid mengetahuinya, laki-laki itu pun ditangkap dan dihukum. Tanggal 28 Rabi’ul Akhir tahun yang sama, dilakukan penempelan kembali bongkahan batu itu ke tempat asalnya.
Sebelumnya perekatan itu, dilakukan penelitian oleh para ahli mengenai bahan perekat yang digunakan. Akhirnya ditemukan perekat berupa bahan kimia yang dicampur dengan minyak misik dan ambar.

Ali bin Abi Thalib dan Hukum

Bagi Anda yang merasa frustasi dengan keadaan hukum saat ini dan tingkah polah pemimpin dan penegak hukum, kisah yang terjadi belasan abad yang lalu ini menarik untuk disimak.
Alkisah pada masa Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, ia kehilangan baju dir’a  (baju besi) miliknya. Tidak berapa lama, ia mendapati baju besinya ada pada seorang Yahudi. Namun, ketika ditanya Ali, orang Yahudi itu bersikukuh bahwa baju besi itu adalah miliknya. Akhirnya, keduanya sepakat untuk membawa perkara itu ke hadapan hakim.
Setelah mendengar duduk perkaranya, hakim yang bernama Syuraih bertanya kepada Ali, apakah ia mempunyai bukti-bukti yang mendukung pernyataannya. Ali pun menghadirkan dua saksi, yaitu pembantunya, Qanbar dan anaknya, Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw.
Sang hakim menerima kesaksian pembantu Ali, namun menolak kesaksian Hasan, karena kesaksian seorang anak kepada ayahnya tidak dapat diterima di hadapan hukum. Ali pun berkata pada hakim Syuraih, “Tetapi apakah Anda tidak pernah mendengar Rasulullah yang menyatakan bahwa Hasan dan Husain adalah pemuda penghuni surga”.
Syuraih membenarkan pernyataan Ali itu namun tetap pada pendiriannya bahwa ia tidak bisa menerima kesaksian Hasan. Karena hanya ada satu orang saksi, akhirnya hakim memutuskan bahwa baju besi tersebut adalah milik si Yahudi. Ali, sang Amirul Mukminin, dikalahkan dalam persidangan tersebut. Dengan besar hati, Ali menyatakan menerima keputusan hakim.
Melihat seorang pemimpin jazirah Islam dikalahkan di pengadilan padahal lawannya seorang non-muslim dan sang pemimpin menerima putusan itu, Yahudi itupun serta merta mengakui bahwa baju besi tersebut adalah benar milik Ali dan ia menyatakan bahwa sebuah agama yang menyuruh hal tersebut pastilah benar. Orang Yahudi itu pun mengucapkan kalimat syahadat dan menyatakan masuk Islam. Menyaksikan hal itu, Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepada si Yahudi disertai dengan hadiah lainnya.

Abu Bakar: Saya Ingin Diampuni Allah

“Saya ingin diampuni Allah,” kata Abu Bakar menyambut turunnya ayat: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi kepada kaum kerabat, orang-orang miskin dan para Muhajirin pada jalan Allah dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tak ingin Allah mengampuni kamu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 24: 22)
Ayat di atas, menjadi teguran untuk Abu Bakar. Ia memang pernah bersumpah untuk tak memberikan bantuan kepada Misthah yang selama ini kerap ditolongnya. Sebenarnya, Misthah masih termasuk keluarga Abu Bakar, yaitu putra saudara perempuan ayahnya. Namun demikian, Abu Bakar sangat marah kepadanya, karena Misthah ikut menyebarkan kabar bohong menyangkut ‘Aisyah, putrinya dan sekaligus istri Nabi Saw. Kabar yang disebarkan Misthah itu bisa menghancurkan nama baik keluarga Abu Bakar.
Mendengar kabar itu, Nabi Saw pun gundah dan bimbang. Beliau mencari-cari informasi tentang kabar tersebut. Kegundahan Nabi reda setelah turun beberapa ayat dalam Surah an-Nur (24) yang menjelaskan kebohongan berita itu. Setelah jelas status kabar itu, orang-orang mencari sumber beritanya. Tersebutlah Misthah menjadi salah satu penyebarnya. Karena itu Abu Bakar marah dan keluarlah sumpah itu.
Dalam ayat di atas, Allah menegur Abu Bakar dan semua orang yang mempunyai kelebihan agar memberi bantuan kepada orang-orang yang miskin, kaum Muhajirin (orang yang pindah dari Mekah menuju ke Madinah atau tempat yang lain) dan kepada siapa saja memerlukan uluran tangan. Janganlah mereka bersumpah untuk tidak memberi bantuan karena orang yang bersangkutan pernah melakukan kesalahan atau karena ketersinggungan pribadi. Hendaknya, orang yang berkelebihan itu berhati besar dan sebaiknya mereka memaafkan dan berlapang dada.
Mendengar ayat tersebut, Abu Bakar memaafkan Misthah, ia membatalkan sumpahnya, dan melanjutkan bantuannya kepada Misthah, sebagaimana sediakala.

Kekuasaan Bisa Menjadi Kehinaan dan Penyesalan

Abu Dzar al-Ghiffari merupakan salah satu sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah Saw dan termasuk sahabat yang paling awal masuk Islam. Ia terlahir dengan nama Jundub bin Junadah bin Sakan, berasal dari suku Ghiffar. Suku Ghiffar terkenal sebagai suku penyamun sebelum datangnya Islam.
Abu Dzar memeluk Islam dengan sukarela. Kegundahan hati dan keinginannya untuk berperilaku yang baik membawanya pergi menempuh perjalanan yang jauh untuk bertemu Rasulullah Saw.
Di tengah suasana Mekah yang mencekam, karena saat itu Rasullah Saw banyak mendapat ancaman dari Quraisy, Abu Dzar berhasil bertemu Rasulullah Saw dan menyatakan keislamannya. Keyakinannya terhadap Islam sangat kuat, sehingga tanpa ragu dan takut ia memberitakan keislamannya itu kepada banyak orang secara terbuka.
Sekembalinya ke kampung halamannya, Abu Dzar menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat seluruh suku Ghiffar. Meski dengan susah payah, seluruh suku Ghiffar berhasil diajaknya memeluk Islam.
Sewaktu mendengar Rasulullah Saw hijrah, Abu Dzar bersama beberapa orang dari Ghiffar pergi ke Madinah. Tujuannya untuk ikut serta membantu Rasulullah Saw berjuang menegakkan Islam. Sejak di Madinah itu, Abu Dzar menjadi dekat dengan Rasulullah Saw. Ke mana Rasulullah Saw pergi, ia selalu turut serta, tidurnya pun di masjid. Jarang sekali, ia absen dari majelis-majelis Rasulullah Saw.
Suatu ketika ada yang mengganjal dalam hati Abu Dzar. Ia ingin terlibat lebih jauh, masuk dalam jajaran pemerintahan Rasulullah Saw di Madinah. Suatu saat ia memberanikan diri menyampaikan keinginannya itu kepada Rasulullah Saw. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mempekerjakan aku?”
Rasulullah Saw sangat mengenal pribadi Abu Dzar. Beliau mengetahui ada sifat-sifat Abu Dzar yang tidak sesuai untuk orang yang memegang kekuasaan. Karena itu, meskipun Abu Dzar sangat dicintainya, namun Rasulullah Saw tidak mengabulkan keinginan sahabatnya itu.
Sambil menepuk kedua bahu Abu Dzar, dengan bijak Rasulullah Saw berkata, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, sementara kekuasaan itu adalah amanat. Di hari kiamat kekuasaan itu nanti menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengembannya dengan benar dan menjalankan semua amanat yang ada di dalamnya.”

Kisah Abdullah bin Al-Mubarak Dengan Seorang Yang Ditahan Karena Dililit Hutang


Dari Muhammad bin Isa diriwayatkan bahwa ia berkata: Abdullah bin Al-Mubarak biasa pulang pergi ke Tharasus. Beliau biasa singgah beristirahat di sebuah penginapan. Ada seorang pemuda yang mondar-mandir mengurus kebutuhan beliau sambil belajar hadits.
Diriwayatkan bahwa suatu hari beliau mampir ke penginapan itu namun tidak mendapati pemuda tersebut. Kala itu, beliau tergesa-gesa dan keluar berperang bersama pasukan kaum muslimin. Sepulangnya beliau dari peperangan itu, beliau kembali ke penginapan tersebut dan menanyakan perihal pemuda tersebut. Orang-orang memberitahukan bahwa pemuda itu ditahan akibat terlilit hutang yang belum dibayarnya.
Maka Abdullah bin Al-Mubarak bertanya: Berapa jumlah hutangnya? Mereka menjawab: Sepuluh ribu dirham. Beliau segera menyelidiki sampai beliau dapatkan pemilik hutang hutang tersebut. Beliau memanggil orang tersebut pada malam harinya dan langsung menghitung dan membayar hutang pemuda tadi. Namun beliau meminta lelaki itu untuk tidak memberitahukan kejadian itu kepada siapapun selama beliau masih hidup.
Beliau berkata: Apabila pagi tiba, segera keluarkan pemuda tersebut dari tahanan. Abdullah segera berangkat pergi, dan pemuda itu segera dibebaskan. Orang-orang mengatakan kepadanya: Kemarin Abdullah bin Al-Mubarak ke sini dan menanyakan tentang dirimu, namun sekarang dia sudah pergi. Si pemuda segera menyusuri jejak Abdullah dan berhasil menjumpai beliau kira-kira dua atau tiga marhalah (satu marhalah kira-kira dua belas mil -pent) dari penginapan.
Beliau (Abdullah) bertanya; Kemana saja engkau? Saya tidak melihat engkau di penginapan?
Pemuda itu menjawab: Betul wahai Abu Abdirrahman, saya ditahan karena hutang.
Beliau bertanya lagi: Lalu bagaimana engkau dibebaskan? Ada seseorang yang datang membayarkan hutangku. Sampai aku dibebaskan, aku tidak mengetahui siapa lelaki itu.
Maka beliau berkata: Wahai pemuda, bersyukurlah kepada Allah yang telah memberi taufik kepadamu sehingga lepas dari hutang.
Lelaki pemilik hutang itu tidak pernah memberitahukan kepada siapapun sehingga Abdullah bin Al-Mubarak wafat. [Shifatush Shafwah IV:141,142]