Oleh : KN Kusuma
Rasulullah belum tiba, tapi ingar-bingar di Madinah sudah begitu terasa. Pagi-pagi, kaum Anshar sudah bersiap-siap di luar kota untuk menyambut kedatangan Nabi. Mereka menunggu, tak peduli dengan terik musim kemarau yang sangat panas.
Ternyata Rasulullah tiba saat kaum Anshar pulang ke rumah masing-masing. Orang pertama yang melihat Rasululah adalah seorang laki-laki Yahudi. Ia berteriak lantang mengabarkan. Kaum Anshar serta-merta keluar rumah untuk menyambut kedatangan kekasih Allah.
Rasululah datang bersama Abu Bakar. Usia mereka sama. Perawakan tak jauh beda. Sebagian besar kaum Anshar belum pernah melihat Rasulullah. Mereka hanya sering mendengar kemuliaan Rasul dari Mush’ab bin ‘Umair.
Rasulullah sengaja mengutus Mush’ab sebelum beliau hijrah, mengajarkan Alquran, Islam, dan memberikan pemahaman agama pada penduduk Madinah. Maka dari itulah kaum Anshar bingung, yang mana kekasih Allah yang harum namanya itu?
Abu Bakar paham kondisi itu. Ia menutupkan selendangnya untuk memayungi Rasulullah SAW, sehingga kaum Anshar mengenali. Serta-merta 500 kaum Anshar mengerubung, ”Masuklah kaliah berdua (ke dalam kota) dengan aman dan ditaati,” kata salah seorang di antara mereka. Rasulullah dan Abu Bakar masuk ke kota dan semakin meriahlah suasana Madinah.
Seluruh warga Madinah keluar rumah. Laki-laki dan perempuan naik ke atap rumah mereka. Anak-anak dan pelayan bertebaran di jalan. Mereka menyambut dan memanggil, ”Ya Muhammad! Ya Rasulullah!” takbir gembira bersahut-sahutan. Bahkan, ada pula yang melantunkan syair indah Thala’al Badru yang dikenal sampai sekarang.
Apa yang membuat kaum Anshar begitu gembira menyambut kedatangan Nabi, padahal mereka belum pernah melihat Nabi, belum tahu rupa dan wajah sejuknya? Nabi datang tanpa harta, keindahan dunia, dan seribu janji kerja sama memakmurkan Madinah. Nabi datang dengan tangan hampa.
Kaum Anshar bersuka cita, lebih karena iman dan takwanya kepada Allah. Indahnya Islam, lembut akhlak dan perangai Nabi adalah daya magnetis tersendiri. Tak ada yang menyuruh kaum Anshar menyambut kedatangan Rasulullah. Mereka spontan atas dorongan cinta. Mereka merelakan harta, tahta, untuk kaum Muhajirin.
Begitulah sambutan terhadap tamu agung. Tak perlu seruan atau persiapan istimewa untuk menyambutnya. Indahnya akhlak, santun tutur perilaku, kebersihan hati, lebih dari cukup untuk membuat sang tamu agung disambut dengan penuh suka cita.
***